PRODUKSI KECAP “Indo Moto”

Pendahuluan

Indo Moto merupakan salah satu industri yang mengolah bahan pangan berupa kedelai untuk dibuat kecap. Industri ini telah berdiri sejak tahun 1971. sejak tahun pendirian, industri ini memproduksi dua macam produk, yaitu versin dan kecap. Namun seiring berjalannya waktu untuk melakukan efisiensi produksi semenjak 10 tahun yang lalu hanya memproduksi kecap saja. Sedangkan untuk produksi vetsin dihentikan, tetapi hanya melakukan pengepakan saja. Jadi, produk vetsin yang diambil dari supplier dibungkus dengan label “indo moto”. Jika vetsin memakai nama produk seperti nama perusahaanya, berbeda dengan produk kecap yang diberi label “Hoki”. Produksi kecap berlangsung setiap hari. Dalam satu bagian produksi hanya terdiri dari 10 orang pekerja/pegawai. Setiap hari target produksi kecap “hoki” ini sebanyak satu ton kecap.

Bahan baku

Bahan baku utama yang digunakan untuk membuat kecap adalah kedelai. Kedelai yang digunakan untuk produksi menurut keterangan pimpinan produksi merupakan kedelai lokal. Sedangkan gula khusus didatangkan dari Kudus dan Pati. Gula yang digunakan untuk membuat kecap adalah gula tebu dan gula kelapa. Dibuat perbandingan tertentu untuk membuat suatu jenis kecap. Selain kedelai dan gula digunakan pula bumbu-bumbu khusus kecap seperti jinten, jahe, laos, salam pekak,dll. Bumbu merupakan produk setempat. Untuk meracik suatu komposisi suatu kecap dilakukan di laboratorium “Indo Moto”.

Tabel 1. Komposisi kedelai per 100 gram bahan

No.

KOMPONEN

KADAR (%)

1.

2.

3.

4.

Protein

Lemak

Karbohidrat

Air

35-45

18-32

12-30

7

(http:// warintek.progressio.or.id/)

Tabel di atas merupakan komposisi dari bahan baku kedelai. Bila seseorang tidak boleh atau tidak dapat makan daging atau sumber protein hewani lainnya, kebutuhan protein sebesar 55 gram per hari dapat dipenuhi dengan makanan yang berasal dari 157,14 gram kedelai.

Pemrosesan

Pembuatan kecap dilakukan dengan cara fermentasi. Fermentasi pembuatan kecap dimulai dengan fermentasi oleh kapang dan dilanjutkan fermentasi dalam larutan garam (NaCl). Selama fermentasi kapang, mikroba yang berperan adalah Aspergillus oryzae, Aspergillus flavus, Aspergillus niger dan Rhizopus olligosporus atau yang dikenal dengan jamur tempe.

Tahap-tahap produksi kecap “Hoki”

  1. Pencucian kedelai menggunakan air yang diambil dari sumur bawah tanah yang ada di lokasi pabrik.
  2. Perebusan kedelai menggunakan ketel uap berkatub selama 12 jam.
  3. Inokulasi dengan menggunakan kapang, fermentasi dengan jamur dilakukan selama 2 hari.
  4. Fermentasi dalam larutan garam, kedelai yang telah diinolkulasi direndam dalam larutan garam selama 2 bulan.
  5. Proses pencampuran kedelai hasil rendaman garam dengan bumbu dan dilakukan dalam tangki dengan menggunakan sumber panas dari ketel uap.
  6. Penyaringan hasil pencampuran, diambil filtratnya dan dimasukkan dalam mixer beserta gula.
  7. Penyaringan dan pengaturan kekentalan dalam ruang vakum
  8. Pengemasan dengan botol yang telah dicuci dengan air sumur bawah tanah.

Penanganan limbah

Produk buangan dari produksi kecap berupa limbah padat yang berupa ampas kedelai dan bumbu serta campuran semi kecap, sedangkan limbah cair berupa air buangan sisa pencucuian alat/mesin produksi dan air sisa rebusan kedelai. Limbah padat yang dihasilkan langsung dibuang dan diangkut oleh dinas kebersihan menuju TPA Mojosongo. Sedangkan limbah cair yang dihasilkan diharapkan memenuhi persyaratran untuk dibuang ke lingkungan. Beberapa tahap yang dilakukan dalam pengolahan limbah adalah :

1. Koagulasi

Proses koagulasi adalah proses pemberian koagulan (contoh: Tawas, PAC) dengan maksud mengurangi gaya tolak-menolak antar partikel koloid sehingga partikel koloid bisa bergabung menjadi flok-flok kecil.

2. Flokulasi

Proses pemberian flokulan dengan maksud menggabungkan flok-flok kecil yang telah terbentuk pada proses sebelumnya sehingga menjadi besar dan mudah untuk diendapkan. Dalam proses flokulasi mengalami pengadukan lambat memberikan kesempatan flok-flok kecil menjadi semakin besar dan mencegah pecahnya kembali flok-flok yang telah terbentuk.

3. Kolam Biologis

Kolam ini digunakan untuk mengencerkan hasil saringan air setelah mengalami proses koagulasi dan flokulasi. Setelah melalui kolam biologis, air dibuang ke saluran air/lingkungan. Industri telah memastikan bahwa air limbah buangan aman bagi lingkungan sekitar, dan sampai sekarang tidak ada keluihan warga sekitar mengenai aktivitas industri tersebut.

Analisis perbandingan dengan Teknik Produksi Bersih

Beberapa tahap produksi dari pembuatan kecap yang dibuat oleh “Indo Moto” dibandingkan dengan teknik produksi bersih :

a. Penghematan energi dengan menggunakan boiler dan ketel uap untuk memperoleh hasil dengan proses yang lebih efisien. Ketel uap yang digunakan juga telah mengalami modifikasi dengan menggunakan katub. Penggantian ketel bioler yang tidak efisien, tanpa isolasi dan tanpa katup pengaman dengan suatu paket boiler dengan efisiensi termal 90%.

b. Penggunaan energi listrik digunakan sepanjang hari tanpa memperhatikan usaha penghematan, ini dapat terlihat dari lampu-lampu di dalam ruang produksi yang dibiarkan hidup di siang hari. Padahal dapat terlihat bahwa sudah dibangun atap untuk masuknya sinar matahari dalam pabrik.

c. Penghematan air melalui penggunaan ulang air bekas untuk mencuci. Air pencuci botol pengemas kecap digunakan kembali untuk membersihkan lantai dan juga masuk dalam kolam biologis untuk mengencerkan limbah cair proses produksi. Penurunan konsumsi air dan biaya pengolahan air sebesar lebih dari 40% melalui pemakaian ulang air.. Sumber air yang digunakan dari Sumur bawah tanah yang ada di lokasi pabrik.

Posted by astaga, Monday, April 30, 2007 6:05 AM | 0 comments |

Kawasan Tambak Lorok : Kemerosotan kualitas lingkungan

Tambal lorok adalah sebuah kawasan perkampungan nelayan di kelurahan Tanjung Mas kecamatan Semarang Utara. Kawasan ini mempunyai jumlah KK 1051 KK[1]. Kawasan ini mempunyai permasalahan unik berkaitan dengan kondisi lingkungannya. Setiap tahunnya selalu terjadi penurunan kualitas lingkungan yang mempunyai resiko ekologis terhadap kelangsungan hidup. Kawasan yang masuk daerah pelabuhan Tanjung Emas Semarang banyak mendapat sorotan mengenai kondisi lingkungannya. Lingkungan di kawasan ini mengalami penurunan kualitas untuk menyokong keberlanjutan hidup. Kondisi lingkungan di daerah tersebut yang akan dipaparkan dalam tulisan ini adalah kondisi air sumur yang tercemar karena intrusi air laut, eksploitasi air tanah, dan juga semakin parahnya amblesan tanah.

Kondisi Air Tanah

Walaupun belum separah Jakarta, nampaknya di beberapa kota besar di Jawa, termasuk Semarang, memasuki fasa mengkhawatirkan. Kajian eksploratif dan dokumentatif menunjukkan penyebaran air payau semakin luas dan kadar garam semakin tinggi. Pemanfaatan air tanah di kawasan pantai yang dilakukan berlebihan tanpa perhitungan akan menyebabkan air laut begitu mudah meresap ke darat. Daerah tersebut sampai kedalaman 40 meter air tanah sudah payau. Air tanah segar baru didapat pada kedalaman lebih dari 60 meter. Kadar garam air tanah yang cukup tinggi menyebabkan sumber air minum warga berkurang. Jika 10 tahun yang lalu dapat mengambil air sumur dan mendapatkan air yang segar, sekarang mereka yang tinggal di kawasan tersebut tidak dapat menikmatinya lagi. Salinitas tertinggi dengan harga daya hantar listrik (DHL) mendekati 2.000 mW/cm (micro ohm tiap centimeter). Padahal nilai DHL air tawar kurang dari 400 mW/cm, dan air payau antara 400 mW/cm sampai 2.500 mW/cm. Beberapa warga tambak lorok mempunyai sumur gali yang sangat dangkal hanya 5-10 meter kedalamannya. Airnya rasanya asin.

Penurunan kualitas air tanah bukan hanya karena kandungan garam, tetapi juga dari jumlah koloid yang ikut, sehingga air berwarna merah kecoklatan. Akibatnya beberapa sumur pompa dan bahkan sumur bor menjadi tidak layak untuk minum, hanya untuk MCK. Air tanah dangkal di kawasan ini mengandung unsur CaCO3 522 mg/l, Mg 177,7 mg/l dan Fe 11,7 mg/l. Kekeruhan tersebut melebihi ambang batas yang dipersyaratkan. Kekeruhan dan kelebihan unsur-unsurnya begitu jelas sehingga air berwarna kecoklatan dan terasa asin. Kondisi air tanah dangkal semakin memprihatinkan. Hampir semua air tanah dangkal di kawasan Semarang, terutama sumur gali dengan kedalaman sampai 10 meter memiliki salinitas tinggi.

Tanah yang semakin amblas

Setiap tahun ketinggian tanah Kota Semarang mengalami penurunan/amblasan (land subsidence) antara 0,6-1,2 cm. Salah satu penyebabnya makin parahnya rob (luapan air laut pasang) di Kota Semarang bagian bawah akibat pengeboran air bawah tanah (ABT) yang tidak terkendali. Rob memang gejala alam. Pengeboran air bawah tanah banyak dilakukan oleh perusahaan dan pengembang perumahan dengan membangun sumur artesis.

Masyarakat menilai, revitalisasi pelabuhan Tanjung Mas di Semarang tahun 1980 dan 1985, dan berdirinya pabrik-pabrik di Sayung memucu terjadinya perubahan besar. Air laut mulai merembes ke sumur dan lahan sawah. Sejak itu, lahan sawah yang tidak dapat ditanami, dan akhirnya menjadi tambak. Dan tentu saja, imbasnya, air mulai menjadi masalah. Ketika tahun 1991 listrik masuk desa, permasalahan air diatasi memasang pompa untuk mengangkat air pada kedalaman sekitar 100 meter. Pada tahun 1990 jumlah sumur bor yang tercatat di Kota Semarang sekitar 300 unit dengan pengambilan 23 juta m3 per tahun. Pada tahun 1995 jumlah tersebut meningkat menjadi 320 unit dengan pengambilan air 27 juta m3 per tahun. Pada tahun 2000, jumlah sumur bor meningkat nebhadi 1050 unit dengan pengambilan air sebanyak 107,369 m3 per hari atau 39.189.827 m3 setiap tahun. Karena pembuatan sumur artetis yang tidak terkontrol inilah, setiap tahunnya amblasan permukaan tanah di Semarang mencapai 1,2 cm. Untuk mengantisipasi menjamurnya sumur air bawah tanah khusus di Semarang, pada tahun 2003 Direktoran Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral telah menerbitkan SK larangan pembuatan sumur air bawah tanah di kawasan Semarang bawah[2]. Warga kawasan ini dalam 3-5 tahun sekali selalu memperbaiki rumahnya yang amblas.

Pelan tapi pasti, perubahan terus terjadi. Tanah ambles dan sejumlah tambak mulai tenggelam. Garis pantai ke pemukiman tinggal 1 km. Masyarakat menilai, pengerukan pelabuhan Tanjung Mas tahun 1995 menjadikan abrasi semakin parah. Jalan ke Tambaksari, yang semula mempunyai lebar 5 meter dan tinggi 1,5, mulai tenggelam saat air pasang, dan menyempit tinggal 1 meter. Perubahan lain yang dirasakan masyarakat adalah menurunnya jumlah dan mutu air minum. Debit pompa mengecil dan airnya berwarna kekuningan.

Intrusi Air laut

Sebuah peristiwa sepele : hanya garis pantai makin menjorok ke darat. Tapi, menjadi tidak sepele ketika tambak dan sawah masyarakat ikut tenggelam, kampung kebanjiran. Paling mencolok adalah perubahan lahan sawah yang menjadi tidak berfungsi karena air asin meresap. Ketika lahan itu dirubah menjadi tambak, banjir pasang surut dan abrasi menenggelamkannya.

Kasus intrusi air laut memang tidak hanya terjadi di tambak lorok. Ini hanya sebuah contih dari banyak kawasan pesisir indonesia yang terkena dampaknya. Dampak dari penurunan tanah yang terus berlangsung menyebabkan semakin banyaknya resapan air laut. Ini mencemari air sumur yang semula digunakan warga untuk minum. Di kawasan tambak lorok yang terdiri dari 5 RW hanya ditemukan 3 sumur dangkal yang airnya kotor berwarna kuning kecoklatan. Mereka mengatakan karena resapan air laut menyebabkan sebagian besar warga menutup sumur dangkal mereka dan menggantinya dengan sumur bor. Mereka tidak peduli dengan penggalian sumur bor yang mempunyai peranan signifikan terjadinya penurunan air tanah.

Penutup
beberapa paparan di atas menunjukkan bagaimana kemerosotan kualitas lingkungan tambak lorok terjadi. Atas manajemen air misalnya, pengambilan air tanah belum dilakukan hati-hati, baik dalam menentukan titik sumur bor, kedalaman sumur, maupun jumlah air yang diambil. Padahal jelas, secara teknis, sulit mengubah kondisi air tanah yang telah terkena intrusi air laut menjadi lebih baik kembali. Kita yang tidak mengalami kemerosotan lingkungan di kawasan tersebut seolah mengabaikannya


[1] Keterangan Kepala Kelurahan Tanjung Mas mengenai data demografi kawasan Tambak Lorok (Oktober 2005)

[2] Data hasil pengawasan air bawah tanah Dinas Pertambangan dan Sumber Daya Mineral Jawa Tengah.

Posted by astaga, 6:00 AM | 0 comments |

PEMANFAATAN SAMPAH ORGANIK SEBAGAI BAHAN DASAR KOMPOS

Kota Semarang sebagai salah satu kota yang rawan banjir membutuhkan penganganan khusus dilihat dari berbagai penyebabnya. Selain letaknya yang sangat rendah, masalah lain yang sangat urgen adalah masalah penanganan sampah. Seperti yang terjadi di Cimahi, guyuran hujan selama dua hari berturut-turut, gunungan sampah di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Leuwigajah di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi longsor dan menimbun perumahan penduduk. Musibah yang telah menelan korban lebih dari 150 jiwa ini berakibat pula terhadap kondisi lingkungan. Situasi Kota Bandung pasca bencana tersebut terlihat mengkhawatirkan, sampah menumpuk dan berserakan di mana-mana. Di kota semarang diperlukan juga suatu tempat pembuangan sampah terpadu agar sampah penduduk tidak langsung dibuang ke sungai yang merupakan penyebab banjir. Tetapi agar tempat pengolahan sampah tidak menyebabkan korban seperti yang terjadi di cimahi tersebut diperlukan paradigma baru dalam melakukan pengelolaan limbah (waste management) perkotaan.

Pembuatan kompos (composting) dapat dijadikan jalan keluar dalam mengelola limbah. Kompos sangat berguna dalam memanfaatkan sampah organik (berasal dari benda hidup) menjadi material yang dapat menyuburkan tanah (pupuk kompos). Selain itu, pembuatan kompos secara komersil dapat dijadikan sebuah peluang usaha yang menggiurkan. Seiring dengan berjalannya waktu, sampah yang dihasilkan manusia akan terus bertambah dengan meningkatnya kebutuhan hidup manusia tersebut. Sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, bahkan sampah telah menjadi masalah serius di perkotaan. Kompos dapat dibuat untuk meminimalisasi efek negatif yang ditimbulkan sampah dengan membuatnya menjadi lebih bermanfaat secara ekologis maupun finansial.

Pemanfaatan sampah organik pada pembuatan kompos ini dapat dijadikan jalan keluar dalam mencegah timbulnya kembali tumpukan sampah seberat ribuan ton yang telah menyebabkan longsor dan korban jiwa. Jika saja sebelumnya sampah tersebut dapat diolah menjadi kompos, maka musibah longsor dan korban jiwa dapat dihindarkan.

Prinsip pengomposan

Christopher J. Starbuck, seorang ahli holtikultura dari University of Missouri menjelaskan, kompos merupakan bahan organik yang telah membusuk beberapa bagian (partially decomposed) sehingga berwarna gelap, mudah hancur (crumbled), dan memiliki aroma seperti tanah (earthy). Kompos dibuat melalui proses biologi, yaitu seperti penguraian pada jaringan tumbuhan oleh organisme yang ada dalam tanah (soil). Ketika proses pembusukan selesai, kompos akan berwarna coklat kehitaman dan menjadi material bubuk bernama humus.

Dalam kondisi alami, hewan dan tumbuhan akan mati di atas tanah. Makhluk hidup yang telah mati tersebut akan diuraikan bakteri pembusuk, kemudian membentuk suatu material yang dapat menghidupkan dan menyuburkan tanaman. Proses yang terjadi dalam pembuatan kompos ini tidak jauh berbeda dengan proses pada penguraian tersebut. Oleh karena itu, pembuatan kompos sering dianggap sebagai seni dalam merubah kematian menjadi kehidupan (the art of turning death into life).

National Organic Gardening Centre yang berada di Kota Coventry, Inggris dalam publikasinya menjelaskan, pembuatan kompos pada dasarnya adalah membuat suatu kondisi yang mendukung (favourable condition) bagi pertumbuhan populasi mikroorganisme dalam proses pembusukan untuk membuat material humus yang sangat penting bagi tanah. Pembusukan dalam pembuatan kompos akan lebih cepat (speeded up) dibandingkan dengan pembusukan yang terjadi pada proses alami.

Prinsip pembuatan kompos merupakan pencampuran bahan organik dengan mikroorganisme sebagai aktivator. Mikroorganisme tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti kotoran ternak (manure) atau bakteri inokulan (bakterial inoculant) berupa Effective Microorganisms (EM4), orgadec, dan stardec. Mikroorganisme tersebut berfungsi dalam menjaga keseimbangan karbon (C) dan nitrogen (N) yang merupakan faktor penentu keberhasilan pembuatan kompos.

Bahan yang diperlukan dalam pembuatan kompos adalah substansi organik. Bahan tersebut dapat berupa dedaunan, potongan-potongan rumput, sampah sisa sayuran, dan bahan lain yang berasal dari makhluk hidup. Kemudian, bahan-bahan tersebut harus memiliki rasio karbon dan nitrogen yang memenuhi syarat agar berlangsung pengomposan secara sempurna. Sampah organik dapat diubah menjadi kompos dengan suksesi berbagai macam organisme. Selama fase awal pengomposan, bakteri meningkat dengan cepat. Berikutnya, bakteri berfilamen (actinomycetes), jamur, dan protozoa mulai bekerja. Setelah sejumlah besar karbon (C) dalam kompos dimanfaatkan (utilized) dan temperatur mulai turun, centipedes, milipedes, kutu, cacing tanah, dan organisme lainnya melanjutkan proses pengomposan (Starbuck, 2004).

Organisme yang bertugas dalam menghancurkan material organik membutuhkan nitrogen (N) dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu, dalam proses pengomposan perlu ditambahkan material yang mengandung nitrogen agar berlangsung proses pengomposan secara sempurna. Material tersebut salah satunya dapat diperoleh dari kotoran ternak (manure). Nitrogen akan bersatu dengan mikroba selama proses penghancuran material organik.

Setelah proses pembusukan selesai, nitrogen akan dilepaskan kembali sebagai salah satu komponen yang terkandung dalam kompos. Pada fase berikutnya, jamur (fungi) akan mencerna kembali substansi organik untuk cacing tanah dan actinomycetes agar mulai bekerja. Cacing tanah akan bertugas dalam mencampurkan substansi organik yang telah dicerna kembali oleh jamur dengan sejumlah kecil tanah lempung (clay) dan kalsium yang terkandung dalam tubuh cacing tanah. Selama proses tersebut, rantai karbon yang telah terpolimerisasi (polymerized) akan tersusun kembali pada pembentukan humus dengan menyerap berbagai kation seperti sodium, amonium, kalsium, dan magnesium. Dalam tahap ini, kompos sudah bisa digunakan sebagai pupuk pada tumbuhan penghasil jagung, labu, ketela, melon, dan kubis.

Pada fase terakhir, organisme mengoksidasi substansi nitrogen menjadi nitrat (nitrates) yang dibutuhkan akar tanaman dan tumbuhan bertunas (sprouting plants) seperti rebung dan tauge. Kompos akan berubah menjadi gelap, wangi, remah, dan mudah hancur. Fase ini disebut juga sebagai fase kematangan (ripeness) karena kompos sudah dapat digunakan.

Keberhasilan dalam pembuatan kompos sangat dipengaruhi beberapa faktor. Dalam proses pengomposan, harus dilakukan pengontrolan terhadap kelembaban, aerasi (tata udara), temperatur, dan derajat keasaman (pH). Kelembaban antara 50-60% merupakan angka yang cukup optimal pada pembuatan kompos. Pengomposan secara aerob membutuhkan udara, sehingga perlu dilakukan pembalikan (turning) pada kompos agar tercipta pergerakan udara. Temperatur akan naik pada tahap awal pengomposan, namun temperatur tersebut akan berangsur-angsur turun mencapai suhu kamar pada tahap akhir. Keasaman kompos akan meningkat, karena bahan yang dirombak menghasilkan asam-asam organik yang sederhana dan keasaman ini akan kembali normal ketika kompos telah matang.

Aplikasi

Pembuatan kompos di tingkat masyarakat dapat dibuat dengan lebih praktis, lebih sederhana, dan dalam waktu yang sangat singkat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan Bio Reaktor Mini (BRM) dalam proses pengomposan. Bio Reaktor Mini (BRM) ini dapat membuat kompos dengan kapasitas sekira 200 liter. Penggunaan BRM sangat cocok diterapkan masyarakat di tingkat RT/RW dalam mengelola sampah. Pengelolaan tersebut dapat dilakukan dengan mengumpulkan sampah rumah tangga yang jumlahnya sangat banyak. Setelah itu, kompos yang dihasilkan masyarakat tersebut bisa digunakan kembali untuk kepentingan masyarakat atau dijual untuk memperoleh keuntungan ekonomis.Kompos yang dicampurkan ke dalam tanah dapat meningkatkan kesuburan (fertility) tanah, menambah bahan organik dalam tanah, dan memperbaiki kondisi fisik tanah tersebut. Kompos dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang terdapat dalam tanah. Mikroorganisme tersebut berfungsi dalam mengeluarkan zat gizi dan material lainnya ke dalam tanah.

Pengerasan (crusting) tanah di permukaan dapat dicegah dengan pemberian kompos. Jika kompos mengandung sejumlah kecil tanah, maka kompos tersebut akan bermanfaat sebagai bagian dari media pertumbuhan untuk tanaman dan akan mengawali tumbuhnya buah dari tanaman tersebut (Starbuck, 2004).Kompos dapat menambah kandungan bahan organik dalam tanah yang dibutuhkan tanaman. Bahan organik yang terkandung dalam kompos dapat mengikat partikel tanah. Ikatan partikel tanah ini dapat meningkatkan penyerapan akar tanaman terhadap air, mempermudah penetrasi akar (root penetration) pada tanah, dan memperbaiki pertukaran udara (aeration) dalam tanah, sehingga dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Kompos dapat mendukung berjalannya gerakan pertanian organik (organic farming) yang tidak menggunakan bahan kimia dan pestisida dalam pertanian.

Pengelolaan sampah (waste management) dengan pembuatan kompos secara nyata telah menjadikan sampah sebagai sebuah aset yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Banjir yang terjadi akibat tumpukan sampah di sungai harus dijadikan dasar pertimbangan untuk melakukan pengomposan sampah secara profesional. Peluang ekonomis sampah ini harus dapat dimanfaatkan dengan baik, tentunya dengan dukungan para penentu kebijakan, para ahli lingkungan, dan masyarakat secara umum. Semoga.***

Posted by astaga, 5:59 AM | 0 comments |

Échec de Public Water Supply Company

La compagnie publique d'approvisionnement en eau (PDAM) est venue au village de Tanjung Mas depuis 1980. qu'il ont donné à des services de l'eau 50% sur les habitants totaux de Tanjung Mas. Le village de Tanjung Mas se composent de 16 parts de villages (dans RW appelé parIndonésie). Avant que l'approvisionnement en eau public viennent, presque tous les habitants emploient des puits dans leur maison. Après qu'il vienne ils emploient les services de PDAM pour des choses plus simples. Juste 11 parts de ce village qui obtiennent des services de l'eau de PDAM. Et habitants qui peuvent acheter la prise de coût de l'eau qui arrosent. Dans le secteur de kebonharjo, bien qu'avoir l'approvisionnement en eau public mais quelques affaires d'approvisionnement en eau soutenus. Je donne un du ménage, appelé H. Bajuri. Il ont des services de l'utilisation PDAM depuis 1995, mais il achètent également AQUA appelé pareau, deux fois une semaine. Il a dit la mettre en bouteille-eau juste utilisée pour la boisson. Il choisissent de la consommer parce que pour obtenir plus d'hygiène arroser pour la santé. Il voit souvent des changements de qualité de l'eau sur PDAM. Dans la saison des pluies, la distribution de l'eau est plus facile d'obtenir l'eau. Mais dans cette saison, l'eau devient boueuse, ont une couleur différente. Elle obtient l'obscurité. Et dans la charrette une, l'écoulement d'eau si difficile et sale complètement de la boue. Ainsi il devient doute pour la qualité de l'eau à la santé de famille. Comme résultat d'enquête de l'eau dans Kelurahan Tanjung Mas, la plupart des habitants là a dit qu'ils ne peuvent pas dépendre de l'eau de PDAM parce qu'il donne souvent le volume minimal de l'eau. Comme l'information d'un de mass media à Semarang, il y avait des fuites 225 millimètres sur les pipes de PDAM chez Jl. Majapahit qui a causé des habitants autour là ne peut pas obtenir l'eau pour les besoins quotidiens (suaramerdeka, 30 déc. 2005).
Posted by astaga, 5:55 AM | 0 comments |

Water Supply Provision

Provision of adequate water has been concerned since the beginning of life. In modern world, water always exist for main problem for human needs. The minimal services from PDAM make opened many actors in water supply business. In Kelurahan Tanjung Mas, water supply provision consist of :

· Shallow / individual wells

Shallow wells in this area have depth approximately 2-3 meters from ground surface. Every household have it. It is so easy to get water from it. But the problem is the water quality from that well. Sea water intrusion has caused worse quality of its water. The color of water becomes yellow to brown. The water becomes salty and it cannot use for cooking moreover it is so dangerous to drink. If the water uses for wash clothes, the clothes was getting dirty. So all the inhabitants only use the water for watering plants and roads. Mr. Suyono one of household there said that 10 years ago, the water quality of that well is better than the present.

· Collective wells

Collective wells mean well on the certain region, that used by a group of inhabitants. It can be had by that group as a management or can be had by individually one. In Tanjung Mas Kelurahan, both of them found. There are 42 collective wells there. If someone has it, it is used to get some profit. The kind of this wells are artesian well. The dept is between 80-100 m. the water that taken from inner groundwater. One well is used to service 7-10 household for their daily needs. We can imagine how much water is taken everyday. The system of water services used pipes that go to their home. They manage their own pipes. They give money to the owner every month. It is approximately Rp. 2.000-3.000/m3.

· Water kiosk

Usually we call it as refilled-water kiosk. It can be found in Tanjung Mas Kelurahan. We could buy water from the kiosk by bringing our own bottles. Tirta Arizky, the only one water-kiosk there. People usually like to buy there than bottled-water suck as AQUA because it is cheaper. The cost of 1 gallon water is Rp. 3.000,-. The inhabitants there believe for its water quality. The buyers can watch directly of water treatment. The water source is from Ungaran Mountain deep well.

· Gallon bottled-water.

People usually could buy bottled-water at every distribution channel, such as supermarket or shops near their homes. The bottled-water that can be found easy is AQUA. It is first bottled-water Company in Indonesia. The other bottled-water is also found there, such as Aquaria, Total, MQ, Sega, Lov, and Yora.

· Water peddler

Other inhabitants buy water from the peddlers. Water peddler deliver water to household by jerrycan or tanker. The water peddlers take water from collective wells, shallow wells, and PDAM’s reservoir by buy it. It depends on the buyers demand. Consequently there are variety water prices. I met one of the water peddlers, named Iyo. He has been a water peddler since 1980. He sells water on the Tanjung Mas area, and gets water by buy it at artesian wells (collective wells). Everyday he can sell 150 jerrycan of water. Every 10 jerrycan, he sells it Rp. 1.500-2.000.

Posted by astaga, 5:55 AM | 1 comments |

Water Sources of Public Water Supply Company

As public water supply that gives services, many problems faced. Water sources get many treatments to make it can drink. Water treatment was done for getting better water quality. The water that we consume should have physic, chemical, and microbiology aspect. Based for water quality, water can be divided for three kinds ;

- Basic water

Water existing in nature world (ground water, surface water), that its quality haven’t have water standard.

- Cleaned water

It usually used for needs of household. Its quality almost have health standard if it is cooked before drink.

- Drink water, which have health standard and can drink directly.

Water sources that use to service inhabitants in Tanjung Mas take from surface water of Kaligarang River. Those sources were contaminated by household’s waste. That water was reduced year by year. It is caused waste’s sediment filled in that river.

In that company, there are some steps to treat water become high quality water. Domestic wastewater can be treated to high levels that let us reclaim the water for beneficial uses. Stringent requirements for the design, operation and monitoring of these reclamation facilities ensure that the resulting reclaimed water can be safely used for its purposes.

The first step in the treatment process is called preliminary treatment and consists of screens and processes that remove sand, rags, and other large materials. This is followed by primary sedimentation to remove relatively large solids from the water. Secondary treatment involves biological processes that cultivate microorganisms to stabilize organics materials in the wastewater. That step purposes to remove those microorganisms and other remaining solids from the water. Filtration is used to produce clear-water and to maximize the effectiveness of the disinfection process that follows. High-level disinfection, typically using chlorine, kills any harmful microorganisms that may remain in the water. Then we get high quality water can be safely used for a wide range of activities.

Posted by astaga, 5:53 AM | 0 comments |

Failure of Public Water Supply Company

Public water supply Company (PDAM) has come to Tanjung Mas village since 1980. it have given water services 50% out of total Tanjung Mas inhabitants. Tanjung Mas village consist of 16 parts of villages (in Indonesia called RW). Before public water supply come, almost all inhabitants use wells in their house. After it comes they use PDAM’s services for more simple things. Just 11 parts of this village that get water services from PDAM. And inhabitants that can buy water cost take that water.

In kebonharjo area, although have public water supply but some water supply business born. I give one of household, named H. Bajuri. He have use PDAM’s services since 1995, but he also buy bottled-water called AQUA, twice a week. He told bottled-water just used for drink. He choose to consume it because to get more hygiene water for health. He often sees changes of water quality on PDAM. In the rainy season, the water distribution is easier to get water. But in this season, water becomes muddy, have a different color. It is getting dark. And in dray one, the water flow so difficult and dirty full of mud. So he becomes doubt for water quality to family health.

As the result of water survey in Kelurahan Tanjung Mas, most inhabitants there said that they can’t depend on water from PDAM because it often gives minimal volume of water. Such as information from one of mass media in Semarang, there were leaks 225 mm on PDAM’s pipes at Jl. Majapahit that caused inhabitants around there cannot get water for daily needs (suaramerdeka, Dec 30 2005).

Posted by astaga, 5:52 AM | 0 comments |

Instrumen Partisipasi Masyarakat

Satu permasalahan yang menarik bagi penulis adalah penyediaan air bersih bagi kebutuhan masyarakat warga kota (d). Akhir-akhir ini penulis sedang mempelajari sistem penyediaan air bersih perkotaan terutama di kota Semarang. Masalah tersebut dimana-mana menjadi suatu perhatian yang serius. Pemerintah pusat sampai dengan pengguna air paling kecil yaitu keluarga memperhatikan kondisi keberlanjutan penyediaan air bersih bagi kelangsungan hidup. Air sebagai salah satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Walaupun begitu singkat dan mudah kalimat tersebut dimengerti, tetapi dalam kenyataannya air sangat sulit didapatkan terutama air bersih. Air sebagai unsur penting kehidupan menjadi permasalahan dalam ketersediannya di alam ini. Ketersediaan air yang digunakan yaitu air tawar sangatlah kecil dibandingkan air laut yang melimpah[1]. Air tawar yang hanya 3% saja dari keseluruhan air di bumi masih dibagi-bagi lagi menurut letaknya. Air permukaan yaitu air sungai, danau merupakan bagian kecil dari air tawar. Air tanah yang setiap saat diambil, dieksploitasi manusia, dimanfaatkan secara maksimal ternyata jumlahnya sangat kecil. Untuk mengatasi jumlah air yang terbatas diperlukan teknologi pengubahan air asin ke air tawar. Walaupun teknologi ini sudah berjalan tetapi belum secara maksimal dapat menutup kekurangan air di bumi karena teknologi ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Semakin banyak jumlah penduduk, semakin meningkat pula kebutuhan air. Hal itu berarti persediaan air juga semakin terbatas. Di satu sisi ada masyarakat yang kesulitan memperoleh air bersih untuk kehidupan sehari-hari, sementara di sisi lain terdapat penggunaan air secara berlebihan tanpa memperhatikan kebutuhan generasi yang akan datang.

Masyarakat perkotaan memanfaatkan air untuk segala jenis kebutuhan. Mulai dari kebutuhan minum, mandi, memasak, mencuci, dan kebutuhan lainnya seperti menyiram tanaman. Meledaknya penduduk kota beberapa tahun terakhir memunculkan permasalahan baru terhadap akses semua masyarakat terhadap air. Jika beberapa tahun yang lalu dapat mengkonsumsi air secara berlebih, hal ini tidak dapat didapatkan saat ini karena semakin banyak orang yang membutuhkan air.

Betapa pentingnya air bagi kehidupan menurut penjelasan di atas cukup untuk menjadi alasan mengapa penulis memilih point d.

Evolusi sektor air di negara-negara berkembang menunjukkan kemajuan yang ajeg, mulai dari penerapan teknologi rumah tangga hingga setingkat metropolitan. Hal ini membuktikan tidak ada teknologi yang tepat diterapkan pada sektor ini. Sehingga diperlukan pendekatan yang menawarkan sejumlah teknik, finansial, dan institusional yang menyesuaikan keadaan sosial ekonomi penduduk yang dilayani dan dapat ditingkatkan apabila dikehendaki oleh perubahan keadaan. Keadaan yang dimaksud adalah lebih kepada partisipasi penduduk dalam hal ini masyarakat yang dilayani. Hal ini menyangkut ide dan gagasan mereka serta keinginan untuk merubah suatu sistem penyediaan air bersih. Ada tiga prinsip yang mendasari pembangunan dalam sektor air, yaitu; (a) Konservasi. Ini berarti menggunakan air hanya secukupnya saja untuk memenuhi kebutuhan yang senyatanya, tanpa pemborosan. Konservasi yang efektif biasanya meliputi suatu paket langkah pengendalian kebocoran, penggunaan peralatan untuk penghematan air, tarif yang berdaya mencegah pemborosan, dan kampanye untuk mendorong konsumen lebih sadar terhadap akibat penggunaan yang boros. (b) Ketahanan. Ini berarti penggunaan teknologi dan sistem yang selalu siap bekerja dengan sumber-sumber daya yang dapat diperoleh dari lingkungan masyarakat yang dilayani, tanpa ketergantungan yang berlebih pada masukan dari luar. Sumber daya ini meliputi tidak saja keuangan, melainkan juga mengelola sistem dan ketrampilan yang diperlukan untuk merawat dan memperbaiki peralatan yang telah dipasang. Ketahanan juga meliputi peduli terhadap keberterimaan (yaitu menggunakan sistem air minum dan sanitasi yang disenangi masyarakat) dan juga peduli terhadap partisipasi masyarakat (dalam memilih teknologi yang akan diterapkan dan dalam menentukan cara mengelolanya, demikian juga dalam perencanaan, konstruksi, manajemen, dan operasi dan pemeliharaan yang tepat). Sistem yang tidak mampu berjalan atau yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat yang seharusnya dilayani merupakan penyia-nyiaan investasi sumberdaya. (c) Sistem Melingkar (Circular System). Dengan meningkatnya tekanan jumlah penduduk terhadap sumber-sumber daya yang terbatas, maka kita perlu memikirkan sistem melingkar, bukan garis lurus. Kota yang membuang polusinya ke saluran air dan menyebabkan masalah bagi orang lain tidak bisa diterima lagi. Sebaliknya, air limbah yang telah diolah seharusnya dianggap sebagai suatu sumber bernilai yang dapat dipakai.

Dalam prinsip ketahanan dalam pembangunan sektor air menekankan pada partisipasi masyarakat yang menjadi penentu dalam keberlangsungannya. Keberhasilan penyediaan air bersih perkotaan banyak ditunjukkan oleh beberapa negara berkembang seperti di Brazil di salah satu kota bernama Porto Alegre berhasil melaksanakan managemen penyediaan air bersih yang mempunyai dasar partisipasi masyarakat, baik dalam perencanan, pelaksanaan, dan evaluasi. Salah satunya dalam hal penentuan anggran dilaksanakan secara partisipasif[2]. Di Indonesia, agar partisipasi masyarakat kota bisa mencapai hasil yang maksimal pemerintah kota dalam hal ini sebagai pelaksana memerlukan penerapan 10 prinsip dalam partisipasi masyarakat. Kesepuluh prinsip-prinsip tersebut adalah:

· Komitmen

Dalam menentukan kebijakan mengenai penyediaan air bersih perkotaan diperlukan komitmen diantara semua pihak. Disini yang menjadi penentu adalah pimpinan dinas terkait, para tokoh politik dan masyarakat untuk bersama-sama membantu pengelolaan air serta penyediaannya untuk kelangsungan hidup warga. Kesadaran diantara pihak-pihak ini untuk bertukar informasi dan dukungan kepada seluruh pelaksana program.

· Hak

Dalam proses partisipasi masyarakat, hak-hak untuk mendapatkan informasi. Pemerintah harus menyediakan ruang untuk semua informasi yang ada. Baik itu kebijakan mengenai penggunaan air yang ada. Bagaimana ketersediaan air di kota. Untuk menjamin hak-hak masyarakat, semua harus menaati hukum yang ada. Kesadaran bagi semua pihak untuk dapat berperan dalam kebijakan penyediaan air perkotaan.

· Kejelasan

Pembuatan kebijakan air ini baik dalam informasi, konsultasi antara pihak-pihak yang terlibat dan partisipasi aktif harus ada dalam proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan air. Masyarakat sebagai input dan pemerintah sebagai pemegang kebijakan haruslah jelas untuk semua, baik proses maupun hasil yang didapat. Pemerintah dalam proses ini sebaiknya menghindari harapan yang salah oleh masyarakat mengenai kebijakan yang ada. Penyediaan informasi bagi masyarakat harus terus-menerus sehingga akan jelas dalam pengambilan keputusan.

· Waktu

Waktu sangatlah menentukan keberhasilan suatu proses pembuatan keputusan. Partisipasi masyarakat berupa konsultasi dan partisipasi aktif harus ada dan diambil sebelum pengambilan keputusan. Prosesnya harus seawal dan secepat mungkin.

· Obyektif

Kebijakan yang dikeluarkan diharapkan dapat seobyektif mungkin. Salah satu cara yang dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan yang sama kepada semua pihak. Tidak ada perlakuan istimewa bagi masyarakat yang punya uang banyak maupun kedudukan tinggi. Dalam pelaksanaannya dibutuhkkan standar bagi pelayanan informasi publik.

· Sumber daya

Sumber daya yang dimiliki seperti keahlian, finansial, teknik yang tepat dibutuhkan dalam proses partisipasi. Dalam penyediaan air harus ada ada sumber daya yang mampu melaksanakan teknik penyediaan, keuangan yang cukup untuk infrastruktur air harus ada. Sehingga dibutuhkan prioritas dan alokasi sumber daya yang cukup.

· Koordinasi

Untuk mengurangi resiko yang akan dihadapi dalam pembuatan keputusan harus ada koordinasi yang baik antar pihak. Insiatif pemerintah untuk terus memberikan informasi kepada masyarakat dan meminta feedback dikonsultasikan.

· Pertanggungjawaban

Dalam proses pembuatan kebijakan air baik dalam penetapan anggran harus terbuka dan transparan sehingga dalam pertanggungjawaban akan jelas. Pelaksana pelayanan air publik harus mempunyai kejelasan tugas yang dilaksanakan sehingga sistem tanggung jawab akan mudah.

· Evaluasi

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dibutuhkan suatu proses evaluasi. Ini memudahkan pemerintah untuk mengetahui hal-hal apa saja yang belum mengakomodir partisipasi masayarakat.

· Partisipasi aktif

Jika ada partisipasi aktif masyarakat akan ada dinamika dalam proses pengambilan keputusan. Mereka dapat secara nyata ikut dalam proses tersebut, dan memperkuat pendidikan bermasyarakat dan keahlian bermasyarakat.

Berdasarkan prinsip-prinsip dalam pelaksanaan proses partisipasi masyarakat dalam permasalahan penyediaan air bersih disarabkan melalui mekanisme yang mendukung terlaksananya 10 prinsip partisipasi masyarakat. Pemerintah yang ingin membangun suatu pelayanan air publik membutuhkan mekanismen tersebut. Proses penentuan anggaran yang akan dibebankan kepada masyarakat harus mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat. Teknik apa yang sesuai untuk pengadaan air dan teknik penyaluran yang tepat untuk dapat menjangkau sebagian besar masyarakat kota.

Beberapa mekanisme yang dapat ditempuh sebagai berikut :

v Fasilitasi

Proses partisipasi membawa berbagai macam masalah dan berkumpulnya kelompok stakeholder harus diorganisasi, diatur, dan difokuskan dan didukung. Pemerintah sebaiknya menggunakan mekanisme ini untuk mengumpulkan seluruh informasi, ide, gagasan yang ada. Gagasan tersebut dikumpulkan untuk digarap dan tidak perlu ada pembahasan masalah di proses fasilitasi. Masayarakat dengan bebas dapat mengungkapkan apa yang dia harapkan untuk memenuhi kebutuhan terhadap air bersih. Proses fasilitasi menciptakan kondisi dan lingkungan yang menunjang partisipasi publik. Pemerintah mengundang masayarakat yang ingin ikut dalam proses tersebut, prinsip hak dan kejelasan informasi sangat dibutuhkan. Beberapa pertimbangan seluruh masyarakat yang punya keinginan akses air bersih lancar akan ikut dalam proses ini, karena dalam mekanisme ini cara yang ditempuh sederhana :

- Setiap ide yang diberikan dicatat baim siapapun pihak yang mengajukan ide tersebut.

- Tidak ada diskusi dan evaluasi dalam mengalirnya ide atau gagasan, sehingga rakyat kecilpun tidak sungkan untuk ‘ber-ide’. Ketakutan masyarakat kecil dalam diskusi akan menghambat diskusi sehingga fasilitasi tidak terjadi proses tersebut masyarakat akan nyaman dalam mekanisme tersebut.

- Jumlah gagasan yang dipentingkan bukan kualitas gagasannya.

v Konsultasi kota

Tahap ini menghadirkan para stakeholder yang berasal dari berbagai kelompok untuk membahas permasalahan air bersih perkotaan. Setelah didapatkan gagasan dari masyarakat pengguna air bersih akan diolah dan didiskusikan untuk mendapatkan suatu keputusan untuk sistem pelayanan air bersih bagi masayarakat kota. Mekanisme konsultasi kota memungkinkan terjadinya sharing informasi, membangun konsensus, dan partisipasi penuh para stakeholders. Dalam proses konsultasi kota beberapa hal yang dilakukan adalah :

- Pandangan umum mengenai permasalahan penyediaan air bersih, bagaimana isi, kerangka kerja, tujuan yang akan dicapai dalam konsultasi kota ini.

- Identifikasi masalah yang ada. Air bersih yang digunakan untuk kelangsungan hidup warga kota membutuhkan penanganan yang serius pada teknik dan proses pengadaannya dengans semakin terbatasnya sumber air perkotaan.

- Metode yang akan dilaksanakan untuk mengatasi penyediaan air bersih, apa saja hal yang dibutuhkan dan bagaimana penyediaan air ditangani oleh publik sendiri adalah lebih mendukung kepada proses partisipasi masayarakat.

- Diskusi kerja masing-masing pihak yang terlibat. Agar partisipasi masyarakat tidak hanya ada dalam pengambilan kebijakan dan ada juga saat proses penyediaanya, maka anggaran yaitu tarif bisa mengakomodir kepentingan rakyat kecil. Masayarakatpun yang mempunyai kesadaran untuk ikut mengawasi penyaluran air bersih.

- Kesimpulan dan keputusan yang diambil harus sesuai dengan apa yang didiskusikan bersama, partisipasi publik menentukan apa yang diharapkan untuk kelangsungan hajat hidup warga perkotaan

Referensi :

1. Reclaiming public water. 2005. Cerita sukses, perjuangandan visi dari berbagai negara. AMRTA Institute for Water Literacy.

UNCHS habitat. 2001. Tools to Support Participatory Urban Decision Making.


[1] Dari seluruh volume air di bumi (1.400.000.000 km3) hanya 0,75% yang merupakan air tawar dan dapat dimanfaatkan langsung untuk kehidupan manusia.

[2] Air Porto Alegre : Publik dan Untuk Semua

Posted by astaga, 5:44 AM | 0 comments |

PENGARUH MULTIPARAMETER KUALITAS AIR

Abstract

One of the efforts of water quality management in watershed is water quality monitoring. In general, water quality parameters such as physical, chemical and biological parameters are often used for water quality monitoring. However, because of some constrains, those parameters cannot be monitored continuously. The research to determine the correlation between water quality multiparameters and the indicator parameters such as dissolved oxygen and electric conductivity are rather rare mainly in Indonesia. Therefore, the objective of this research is to make the empirical models between water quality multiparameters and indicator parameters mainly dissolved oxygen and electric conductivity. This research uses the monthly water quality record data during 1990 to 2002, which had been measured by Research Institute for Water Resources. The water sampling is located at Nanjung Station as inlet of Saguling Reservoir. The research uses multivariate analysis method to analyze the correlation between water quality multiparameters upon indicator parameters. These analysis use dissolved oxygen (DO) and electric conductivity (EC) as predictors (dependent variables). The results show that the correlation coefficients between the multiparameters upon dissolved oxygen and electric conductivity are 0.74 and 0.984 respectively. Resciprocal test shows that ratio between the multivariate equation and dissolved-oxygen monitored data is 1.03 and regression coefficient (r2) =0.78. Whereas, the ratio between multivariate equation and electric-conductivity monitored data is 1.11 and the regression coefficient is 0.96. From these equations, background levels of dissolved oxygen and electric conductivity at Nanjung station are ±4,255 mg/L and ±63,215 μmho/cm.

Keywords: Multivariate analysis, correlation coefficient, empirical model, dissolved oxygen, electric conductivity
Posted by astaga, Thursday, April 26, 2007 1:24 AM | 0 comments |

Emissions to the Atmosphere

G. H. EDULJEE

Introduction
All waste management activities have the potential to release emissions to atmosphere, perhaps along with releases to other environmental media such as groundwater or surface water. These emissions may be controlled (i.e. managed so as to minimize harm to the environment) or uncontrolled (i.e. not under the direct management of plant or site operators).1 In some waste management processes (for example incineration, gasiÞcation, pyrolysis) continuous and controlled emissions to atmosphere are an integral and essential consequence of the treatment, since the aim is to convert wastes to essentially gaseous, non-toxic products which can safely be released to the environment. In other waste management processes (physicochemical treatment, solidiÞcation, chemical recovery, etc.) the aim is not to permit releases to the atmosphere, and to contain the products within the reaction vessel. However, adventitious, uncontrolled releases could still occur if the reactions are not adequately monitored. In the landÞlling of biodegradable wastes, approximately 6 m3 of gas is released per tonne of waste deposited per year. Two gas management concepts are currently under discussion: maintaining dry conditions within the landÞll by preventing the ingress of air and water and thus slowing the generation of landÞll gas and leachate (the Ôdry tombÕ), or treating the landÞll as a bioreactor
and maximizing the generation and release of landÞll gas by optimizing air and water requirements.
In addition to these process-related emissions, uncontrolled releases to atmosphere could occur during any stage of the waste management cycle, for example during handling, transportation, inter-plant transfer, etc. illustrates the potential for releases from various types of waste management processes: landÞlls (representing an area source), combustion plant (stack emissions representing a point source), and tra¦c (representing a line source). Emissions can be continuous (as in the case of gases from incinerator stacks or of gas di¤using through the cover material of a landÞll) or discontinuous (as in thecase of releases from physicochemical treatment plants or from Þres and accidental spills).
In comparison to soil and ground or surface water, the atmosphere is a far more e¤ective carrier of pollution in that dispersion of emissions into the surrounding environment is multidirectional, relatively fast, and over longer distances.3 To persons living in the vicinity of waste treatment and disposal facilities, emissions to atmosphere are often the most obvious manifestation of waste management operations, because of visible emissions (steam and smoke from an incinerator stack), or because fugitive releases of dust, odours, litter, etc. have resulted in loss of amenity. Certainly, waste management processes that routinely discharge to atmosphere (in general, all thermal processes) have attracted more attention from environmental groups and the public due to anxieties over serious adverse health e¤ects than have other types of waste
treatment and disposal options. This article presents an overview of emissions to atmosphere from waste management operations. The discussion commences with a brief review of the regulatory control of such emissions, as it pertains in the UK. Next, the releases to atmosphere are characterized in terms of their sources, composition, and scale of release. The environmental impacts of such releases are then examined, di¤erentiating between national or global issues, and near-Þeld e¤ects which have the potential to produce more local impacts. Finally, measures which can be taken to mitigate the potential adverse e¤ects of emissions to atmosphere are discussed.
Posted by astaga, Wednesday, April 25, 2007 7:38 PM | 0 comments |

Recovering Energy from Waste: Emissions and Their Control

G. W. RAE

Introduction
Although reliable data are di¦cult to Þnd, it is estimated by the Department of the Environment1 that some 516 million tonnes of waste arise annually in the UK. Of this some 137 million tonnes is classiÞed as household, commercial, and industrial waste. These are the controlled wastes for which private sector companies are responsible at a range of waste management facilities. The proper disposal of these wastes is essential if public health and the environment are to be protected.Arange of disposal facilities are provided to deal with these wastes. But by far the most signiÞcant disposal route is landÞlling. Some 85 to 90% of all controlled waste go untreated to landÞll, with landÞll also acting as the Þnal repository for the residues from such waste treatment and waste reduction processes as are available. Currently there are some 6000 licensed landÞll sites in the UK.
The only serious, though limited, alternative to landÞll for most controlled wastes is incineration. Currently some 30 incinerators, all built by local authorities between 1968 and 1976, are operational. All of these are of the mass burn type, accepting waste without pre-processing, and most operate with a throughput of between 6 to 10 tonnes h~1. Only Þve of these plants recover
energy from the wastes. Collectively these incinerators deal with some 7% ofUK household and commercial waste. There is, however, little scope for increasing the throughput at these existing plants. The technologies employed are outmoded, particularly in terms of emission control, and without extensive retroÞtting none of these plants will meet the standards set out in the EC Directive on the Incineration of Municipal Waste.2 This directive comes into force in 1996 and at that time it is expected that all but one or two of these existing incinerators will close.

Posted by astaga, 7:33 PM | 0 comments |

Analysis of Water Resources Supply and Demand and Security of Water

Abstract

Based on the data for meteorology, hydrology, soil, planting, vegetation, and socio-economic development of the irrigation region in the middle reaches of the Heihe River basin, Northwest China, the model of balance of water supply and demand in the region was established, and the security of water resource was assessed, from which the results that the effects of unified management of water resources in the Heihe River basin between Gansu Province and Inner Mongolia on regional hydrology are significant with a decrease in water supply diverted from Heihe River and an increase in groundwater extracted. In addition, it was found that the groundwater level has been steadily decreasing due to over pumping and decrease in recharges. In present year (2003), the volume of potential groundwater in the irrigation districts is far small because of the groundwater overdraft; even in the particular regions, there is no availability of groundwater resources for use. By 2003, water supply is not sufficient to meet the water demand in the different irrigation districts, the sustainable development and utilization of water resources are not secured, and the water supply crisis occurs in Pingchuan irrigation district. Achieving water security for the sustainable development of society, agriculture, economy, industry, and livelihoods while maintaining or improving the abilities of the management and planning of water resources, determining of the reasonable percentage between water supply and groundwater utilization and water saving in agricultural irrigation are
taken into account. If this does not occur, it is feared that the present performance of water development and planning may further aggravate the problem of scarcities of water resources and further damage the fragile ecological system.

Key words: middle reaches of Heihe River, irrigation region, water resources supply and demand balance, evaluation of the security of water resources

JI Xi-bid, KANG Er-si1, CHEN Ren-shengl, ZHAO Wen-zhil.2, XIAO Sheng-chunl and JIN Bo-wed2
Posted by astaga, 7:29 PM | 0 comments |

Analysis of Water Resources Supply and Demand and Security of Water

Abstract

Based on the data for meteorology, hydrology, soil, planting, vegetation, and socio-economic development of the irrigation region in the middle reaches of the Heihe River basin, Northwest China, the model of balance of water supply and demand in the region was established, and the security of water resource was assessed, from which the results that the effects of unified management of water resources in the Heihe River basin between Gansu Province and Inner Mongolia on regional hydrology are significant with a decrease in water supply diverted from Heihe River and an increase in groundwater extracted. In addition, it was found that the groundwater level has been steadily decreasing due to over pumping and decrease in recharges. In present year (2003), the volume of potential groundwater in the irrigation districts is far small because of the groundwater overdraft; even in the particular regions, there is no availability of groundwater resources for use. By 2003, water supply is not sufficient to meet the water demand in the different irrigation districts, the sustainable development and utilization of water resources are not secured, and the water supply crisis occurs in Pingchuan irrigation district. Achieving water security for the sustainable development of society, agriculture, economy, industry, and livelihoods while maintaining or improving the abilities of the management and planning of water resources, determining of the reasonable percentage between water supply and groundwater utilization and water saving in agricultural irrigation are
taken into account. If this does not occur, it is feared that the present performance of water development and planning may further aggravate the problem of scarcities of water resources and further damage the fragile ecological system.

Key words: middle reaches of Heihe River, irrigation region, water resources supply and demand balance, evaluation of the security of water resources

JI Xi-bid, KANG Er-si1, CHEN Ren-shengl, ZHAO Wen-zhil.2, XIAO Sheng-chunl and JIN Bo-wed2
Posted by astaga, 7:29 PM | 0 comments |

SOCIAL IMPACT ASSESSMENT

International Principles

The process of developing international guidelines and principles however has been difficult. In a truly international context, there are many issues to consider and little can be taken for granted. The regulatory context varies, the cultural/religious context varies, and social and economic priorities for development vary. As the process of developing international guidelines and principles progressed, increasing pressure was placed on the conventional understanding of SIA, and a new concept of what SIA was about emerged. This resulted in a revised definition of SIA.
It also became apparent that a definitive document containing the “International Guidelines and Principles” was a flawed concept. Firstly, because most such documents tend to emphasise guidelines rather than principles. They fail to realise that guidelines need to be deduced from principles, and principles need to be derived from core values. Only by first establishing the core values of the community of practice, then deriving the principles, and only then developing guidelines, can truly appropriate guidelines emerge. The second flaw is that guidelines and principles are often developed in non-participatory processes. Even where participatory processes are involved, too often they do not include the people to whom the guidelines are directed. These are the people who ultimately need to develop 'ownership' of the guidelines if they are to be adopted and utilised.

What are social impacts?

SIA is much more than the prediction step within an environmental assessment framework. Social impacts are much broader than the limited issues often considered in EIAs (such as demographic changes, job issues, financial security, and impacts on family life). A limited view of SIA creates demarcation problems about what are the social impacts to be identified by SIA, versus what is considered by related fields such as health impact assessment, cultural impact assessment, heritage impact assessment, aesthetic impact assessment, or gender impact assessment. The SIA community of practitioners considers that all issues that affect people, directly or indirectly, are pertinent to social impact assessment.

Posted by astaga, 7:15 PM | 0 comments |

Subunit a of the E. coli ATP synthase: reconstitution and high resolution

Abstract
Subunit a of the Escherichia coli ATP synthase, a 30 kDa integral membrane protein, was puri¢ed to homogeneity by a novel procedure incorporating selective extraction into a monophasic mixture of chloroform, methanol and water, followed by Ni-NTA chromatography in the mixed solvent. Pure subunit a was reconstituted with subunits b and c and phospholipids
to form a functional proton-translocating unit. Nuclear magnetic resonance (NMR) spectra of the pure subunit a in the mixed solvent show good chemical shift dispersion and demonstrate the potential of the solvent mixture for NMR studies of the large membrane proteins that are currently intractable in aqueous detergent solutions.

2003 Federation of European Biochemical Societies.

Published
by Elsevier B.V. All rights reserved.

Key words: ATP synthase; Subunit a;
Membrane protein puri¢cation;
Chloroform^methanol^water solvent; Proton translocation;
TROSY
Posted by astaga, 7:13 PM | 0 comments |

Ultrasonic characterisation of flour–water systems: A new

Abstract
The viscoelastic properties of dough are of great interest in the baking industry as they affect the quality of the final product. In this work, the viscoelastic properties of dough were investigated using ultrasonic techniques and then compared with traditional methods. It
has been shown that ultrasonics provides a non-destructive, rapid and low cost technique for the measurement of physical food characteristics.
A common protocol for dough preparation was used for each type of measurement. Experimental results on more than 30 different flour quality and dough processing were presented. The measurements were correlated and compared with traditional dough quality
tests. In addition, the capability of ultrasound measurements for discriminating flours for different purposes was also studied, showing the potential of ultrasound as an alternative measurement method to discriminate types of flours for different purposes. 2006 Elsevier B.V. All rights reserved.

Keywords: Flour; Dough quality; Ultrasound; Viscoelastic properties; Rheology
Posted by astaga, 7:11 PM | 0 comments |

Response of gas exchange of rape to ozone

1 State Key Lab of System Ecology, Research Center for Eco-Environmental Sciences, Chinese Academy of Sciences, Beijing 100085, China
2 North-western Sci-Tech University of Agriculture and Forestry, Yangling 712100, China

Abstract: Gas exchange characteristics, Pn-PAR and/or Pn-CO2 response parameters of rape (Brassica napus L) were studied in the field under different O3 concentrations (CF, 50 nl·L-1 and 100 nl·L-1) and fumigation regimes (constant concentration and dynamic varying concentrations) with a portable photosynthetic system (CIRAS-1). Results indicated: (1) Relatively to CF, higher ozone concentration decreased in Tr and increased in WUE under a constant concentration fumigation regime. In addition, an increase in Tr and decreases in Pn, Gs and WUE were found in the dynamic ozone exposure regime; (2) In the constant concentration exposure regimes, AQY, LSP and Pmax were markedly reduced and Rp and Г were enhanced with an increase in ozone concentration (100 nl·L-1).
There were significant differences in the parameters such as Rd, LCP, LSP, Pmax and CE between O3 exposure regimes; (3) Regardless of the exposure regimes which were imposed, the increase of O3 concentration induced significant decreases in Fv/Fo and Fv/Fm of the eighth leaves from the top canopy, but it had no effect on the fifth full-spread leaves. It can be concluded that the dynamic ozone exposure regime has greater detrimental effects on the photosynthesis of rape in spite of equal exposure dose, and thus is unfavorable for plant growth and the accumulation of dry matter.
Key Words: ozone; rape; photosynthetic characters; carboxylation efficiency; apparent quantum yield; chlorophyll a fluorescence
Posted by astaga, 7:07 PM | 0 comments |

selamat datang

selamat datang yahhh
Posted by astaga, 3:00 AM | 0 comments |